Judul : Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (kritik atasa nalar tafsir gender)
Penulis : Dr. Aksin Wijaya
Penerbit : Magnum Pustaka Utama
Halaman : 300 halaman
Harga : Rp.75.000
REVIEW
Buku
yang diberi judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir
Gender; karya Aksin Wijaya ini merupakan model kegelisahan
“baru” akan dominasi nalar Arab dalam teks keagamaan, dalam hal ini
Al-Qur'an. Dikatakan “kegelisahan baru” mengingat pikiran-pikiran yang
dilontarkan turut “mempermasalahkan” Mushaf Utsman yang oleh sebagian
besar pengkaji Al-Qur'an justru tidak lagi dipermasalahkan. Sederet pemikir
kontemporer seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Nasr
Abu Zayd, Abdul Karim Shoroush, dan Muhammad Syahrur, misalnya, dengan
seabrek tawaran metodologis serta pemikiran kritis lainnya tentang
Al-Qur'an, tidak menyinggung Mushaf Utsman sebagai korpus yang pantas
“digugat”, meski mereka mengakui proses kodifikasi masa Utsman
tersebut sejatinya bisa menimbulkan pertanyaan.
Poin
penting yang didialogkan dalam karya ini sejatinya tentang penafsiran
ulang ayat-ayat gender. Hanya saja, penulis banyak mengeluarkan energi
untuk menunjukkan kuatnya nalar dan budaya Arab sebagai “bungkus” dan
kemasan wahyu. Hal tersebut sah-sah saja, mengingat di dalam khazanah
intelektual Islam “dominasi” nalar Arab memang tidak bisa dipungkiri.
Tidak sedikit jumlah karya para pemikir rasional-liberal, baik yang klasik
maupun kontemporer, yang memperkokoh “hegemoni” nalar Arab tersebut.
Kekayaan
khazanah intelektual klasik menjadi indikator akan suburnya keberanian para
pemikir zaman tersebut untuk mendekati dan mengkaji Al-Qur'an “tanpa beban”.
Keberanian ini tentunya sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa kurun
pasca generasi al-Jahiz, khususnya ketika disiplin tafsir melahirkan apa yang
dikenal dengan “kelembagaan” tafsir. Artinya, tafsir telah menjadi sosok yang
“menakutkan” mengingat berat dan kompleksnya persyaratan-persyaratan yang
diajukan ulama tafsir jika seseorang hendak menafsirkan Al-Qur'an. Akibatya, disiplin
yang seharusnya tetap segar dan menuntut penyegaran dan sekaligus menjadi
tanggung jawab
setiap
generasi mengalami stagnasi yang cukup panjang. Adalah Muhammad Abduh yang
kemudian diikuti oleh
beberapa
pemikir modem lainnya, yang membuka kreativitas dan kesadaran intelektual akan
tugas tafsir yang tidak kenal henti.
Apa
pun hasil penafsiran, dan siapapun yang menghasilkan, hendaknya disikapi
sebagai pemenuhan tugas mulia dari generasi. Untuk itu, kehadiran buku Menggugat
Otentisitas Wahyu Tuhan selayaknya ditempatkan dalam kerangka pemenuhan
tugas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar